“Dear diary,
Radian, sampai kapan aku harus menahan rasa ini? Aku sudah lama memendam
rasa ini. Aku ingin mendekatimu, ingin sekali. Tapi aku takut diary,
aku takut kalau dia tak sebaik yang kukira, aku takut dia membenciku.
Aku hanya seorang gadis cupu, berkacamata tebal, kutu buku, dan suka
menyendiri. Tak mungkin lelaki seperti Radian bisa mencintaiku. Aku…”
Terdengar suara berisik membuyarkan konsentrasiku. Dengan segera aku
menutup diaryku dan berdiri tegap. Seorang laki-laki tampan berdiri di
depan pintu dan berkata “Ngapain dek kamu di sini?”. Tubuhku melemas
seketika, tak kusangka-sangka seorang lelaki yang selalu memenuhi
halaman diaryku sedang berbicara denganku.
“Ehm.. lagi.. lagi bersihin gudang kak, tadi aku telat masuk kelas” aku menjawab dengan ragu-ragu
“Ohh.. pasti perintah dari Pak Edi ya? Hmm, aku juga heran sama itu
guru, suka banget lihat muridnya sengsara, yang suruh bersihin
gudanglah, bersihin kamar mandilah. Hello? Kalau para muridnya yang
bersih-bersih terus tukang kebun sekolah ini keenakan dong” gerutu
Radian sambil tertawa lebar. Tetapi aku hanya tersenyum malu melihat
lelaki yang kucintai berbicara seenaknya.
“Oh iya, itu yang kau bawa apa?” Radian menunjuk buku yang kutenteng ini. Dengan segera aku mengamankan diary yang kubawa.
“Ehm.. bukan apa-apa kok, ini Cuma koleksi cerpen buatanku kak Radian” jawabku dengan singkat.
“Oh ya? Kamu kok tau namaku? Namamu siapa? Boleh aku lihat cerpen
buatanmu itu? Kalau ada yang bagus kan bisa disumbangin ke majalah
tahunan sekolah kita” jelas Radian
“Ehm.. ya tau kak, itu kan ada bet nama di seragam kakak” balasku sambil
menunjuk bet seragam yang dikenakannya. “Ohh iya boleh kak, tapi besok
aja ya kak aku bawa koleksiku yang lebih lengkap, Oh ya namaku Mitha
kak”
“Iya deh adek Mitha” jawab radian sambil melontarkan senyuman kepadaku”
Senyuman itu bagai bumerang bagiku, menyerangku hingga aku tak berdaya.
Tak henti-henti aku melirik Radian yang sedang membersihkan gudang.
Bagiku melihat senyumannya saja sudah membuat sejuk hatiku. Rasanya aku
ingin berlama-lama di gudang ini meskipun ruangan ini kotor, sempit, dan
bau, asalkan bersama Radian semua menjadi nyaman.
Tak henti-hentinya aku tersenyum, dan tak lupa aku akan bercerita
kepada teman sejatiku yaitu diary, meskipun diary ini benda mati, diary
ini seakan berbicara padaku, dapat menenangkanku walaupun itu tidak
nyata.
“Dear diary, aku senang sekali hari ini. Hari ini bagaikan hujan di
kemarau panjang, tak dapat kupercaya Radian orang yang kusayang, ia
berbicara kepadaku, ia ingin melihat cerpen karyaku. Ia tidak
membenciku, ia malah perduli denganku diary. Akankah ada kesempatan
buatku untuk menjadi yang teristimewa di hatinya? Aku menginginkannya
diary. Aku sudah terlalu lama memendam perasaan ini”
Aku menutup diary kesayanganku, tak lupa aku akan membawa buku koleksi
cerpenku seperti yang diinginkan oleh Radian. Aku beranjak dari meja
belajarku, berbaring santai di atas ranjangku dan terlelap dalam mimpi
yang indah
“Baiklah, cukup sampai di sini materi kita. Materi selanjutnya akan
dilanjutkan pada pertemuan berikutnya. Selamat siang semua” Pak. Edi
guru yang hobi menyuruh muridnya menggantikan pekerjaan tukang kebun itu
mengakhiri pertemuannya. Aku bernafas lega. Aku berjalan keluar
menyusuri koridor sekolah yang tampak megah.
“Heii Mitha.. Mitha” suara seorang lelaki menghentikan langkahku, aku
menoleh mencari sumber suara itu. Tak salah duga, itu adalah Radian.
“Mitha, gimana cerpennya? Sudah kamu bawa?” nafas Radian tersengal-sengal karena berlari menghampiriku.
“Oh iya kok kak, aku bawa” jawabku dengan singkat.
“Oh ya sudah, kalau gitu kita makan siang sambil lihat-lihat cerpenmu
itu ya”. Tanpa sempat menjawab, Radian menarik tanganku dan membawaku
menuju parkiran untuk mengambil kendaraannya. Aku hanya tercengang
melihat sikap Radian yang begitu perduli kepadaku. Perlakuan Radian
memberiku harapan yang cukup besar
“Ayo mitha, kita jalan” suara Radian membuyarkan lamunanku, dengan
segera aku menaiki motor yang dibawanya dan menuju cafe yang di tuju
oleh Radian.
“Ohh, jadi ini koleksi cerpen kamu? Bagus-bagus kok, kata majas maupun
kiasannya pas. Boleh aku pinjem kan” Ucap Radian sambil membolak-balik
halaman buku yang kubawa
“Iya boleh kok kak” ucapku dengan lirih.
“Oh iya, kamu ada acara gak hari ini? Kalau gak, temenin aku ke toko
buku, sama nyari barang-barang buat praktikum. Mau kan Mitha? Mau ya?”
“Aku nggak ada acara kok kak, iya aku temenin”. Rasanya aku ingin
berteriak sekencang-kencangnya untuk meluapkan kebahagiaan yang
kurasakan. Aku tak menyangka akan dekat dengan Radian secepat ini. Aku
hanya melontarkan senyuman kepada Radian yang tengah membaca cerpenku.
Seperti biasa, aku akan bercerita kepada sahabatku
“Dear diary, aku hari ini seneng banget. Radian yang kukira hanya mau
melihat-lihat cerpen karyaku ternyata ia benar-benar suka, bahkan bukuku
dibawanya. Aku sempat makan siang, ke toko buku, bahkan aku ikut
membantu Radian ngerjain tugasnya, yah walaupun aku hanya sedikit
membantu diary. Aku semakin percaya deh kalau aku bisa menempati ruang
kosong di hatinya. Aku percaya aku bisa, dengan perhatiannya, dengan
rasa perdulinya membuat harapan yang dulu pernah musnah menjadi
merekah-rekah seperti hatiku saat ini yang lagi di landa cinta”
“Mitha, temenin aku lagi yuk? Kayak kemarin” ajak Radian sambil
menenteng tas sekolah yang dibawanya. Aku hanya mengangguk dan memberi
senyuman tanda persetujuan. Hari ini berbeda dengan hari kemarin,
kemarin aku hanya membantu Radian mengerjakan tugasnya. Tetapi hari ini,
ia mengajakku bersenang-senang. Radian mengajakku nonton bioskop,
keliling kota, atau pergi ke taman hanya untuk melihat-lihat anak kecil
bermain-main. Rasanya aku ingin cepat-cepat bertemu diaryku, ingin
bercerita tentang hari ini.
Hari semakin larut, Radian mengantatku pulang sekitar jam 7 malam. Tak terasa aku melalui hari-hariku bersama Radian.
“Besok kan malam minggu, aku jemput kamu ya? Kita makan malam besok. Aku ada kejutan buat kamu” ajak Radian
Aku seakan tak percaya apa yang dikatakan Radian. Jikalau Radian
menyatakan cinta kepadaku besok, waktu itu terlalu singkat. Tapi, aku
tak mau memungkiri kenyataan, aku selalu ingin bersamanya dan dekat
dengannya.
“Hallo? Mitha? Kok ngelamun?” lagi-lagi Radian berusaha membuyarkan lamunanku
“Iya kak, aku bisa kok” aku pun menjawab dengan ragu-ragu.
Radian pun menaiki motornya dan meninggalkanku. Aku sempat ragu dengan
apa yang dikatakan Radian. Apa maksud kata-kata “Aku ada kejutan buat
kamu”. Mungkinkah apa yang ku inginkan selama ini akan menjadi nyata?
Aku pun sekarang tak perduli betapa bodohnya penampilanku, yang
terpenting aku dapat menjadi wanita yang istimewa di mata Radian.
Malam minggu ini, aku mempersiapkan diri, berdandan secantik mungkin
untuk hari yang ku duga akan spesial ini. Deru mesin motor Radian
memanggilku, aku meraih tasku dan segera keluar menghampiri Radian yang
telah siap menunggu di depan. Kami pun segera menuju Elegant Restourant
untuk makan malam tahun ini.
“sebenarnya mau ngasih kejutan apa sih malam ini?” aku bertanya dengan polosnya.
“Penasaran ya? Nanti kamu pasti tahu kok Mitha” jawab Radian.
Perasaanku semakin tak karuan, penasaran dengan apa kejutan Radian, aku
mulai yakin kalau Radian akan menyatakan cintanya kepadaku malam ini.
Tiba-tiba ada seorang gadis berparas cantik, mengenakan balutan gaun
yang mewah, hampir sempurna tidak ada yang cacat sedikitpun dari
fisiknya. Anehnya, gadis itu mengampiri Radian.
“Oh iya Mitha, perkenalkan ini pacar aku, namanya Febrisa? Cantik kan?”
Radian berdiri tegap sambil memperkenalkan pacarnya padaku.
Seketika hatiku bagai tersengat listrik bertegangan tinggi. Ternyata ini
kejutan yang dibicarakan Radian, hanya untuk memperkenalkanku pada
pacarnya yang cantik ini? Ternyata perkiraanku salah besar. Radian tak
pernah tertarik kepada gadis sepertiku, aku hanya gadis cupu, kutu buku,
dan nggak cantik! Radian ternyata punya pacar!
“Namaku Febrisa, kamu pasti Mitha ya? Radian sering cerita lho soal
kamu. Katanya kamu penulis cerpen yang hebat, kamu orangnya baik, nggak
sombong, kalem lagi. Nggak salah kalau Radian menganggap kamu adik
sendiri” Febrisa bercerita sambil melontarkan senyuman manis kepadaku
yang sebenarnya senyuman itu malah menyayat hatiku.
“Iya benar, namaku Mitha” dengan berat hati aku menjawab dan berjabat tangan dengan Febrisa.
“Permisi, aku mau ke toilet” Aku segera pergi meninggalkan mereka, air
mataku tumpah tak terbantahkan. Tak kuat aku menahan beban hati yang
kurasakan. Aku memang salah terlalu banyak beharap kepada lelaki yang
tak pernah mencintaiku, bahkan hanya menganggapku adik! Aku membuka
diaryku, menumpahkan kepatah hatian yang kurasakan. Titik-titik air
mataku membasahi tiap halaman diary yang kutulis. Aku tak dapat memaksa
Radian mencintaiku, ia telah mendapat seseorang yang benar-benar tulus
mencintainya.
“Aku ikhlas diary, aku ikhlas dia bersama yang lain, asalkan dia tetap
tersenyum bahagia. Aku tau, cinta tak dapat dipaksakan. Aku akan mencoba
merelakannya.”